FYI.co.id – Tujuh mantan hakim Mahkamah Konstitusi berkumpul di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (7/11). Ada yang bertemu tatap muka, dan ada yang melalui sambungan dalam jaringan.
Mereka melakukan pertemuan singkat membahas putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) mengenai kasus pelanggaran etik Anwar Usman yang baru saja diketok malam itu. Anwar, paman Gibran Rakabuming, diberhentikan dari jabatannya selaku Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik berat.
Putusan MKMK itu tak pelak membuat para eks hakim konstitusi prihatin. Ketua MK 2013–2015 Hamdan Zoelva berkata, “Banyak sekali hal-hal yang seharusnya tidak boleh terjadi pada hakim dan Mahkamah Konstitusi.”
Sidang etik Anwar Usman digelar usai MK mendapat aduan dari 16 pelapor. Mereka menyoal dugaan pelanggaran etik oleh Anwar saat membuat Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Putusan 90) yang membuat norma baru dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Putusan 90 memperluas makna batas usia capres/cawapres pada Pasal 169 huruf q UU Pemilu dari yang semula minimal 40 tahun menjadi boleh di bawah umur tersebut asalkan pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah dari hasil pemilihan umum, termasuk pilkada.
Putusan 90 menjadi kontroversi karena membuka jalan bagi Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi cawapres Prabowo Subianto. Sebelum Putusan 90, usia Gibran tak memenuhi syarat pencalonan karena baru 36 tahun per 1 Oktober 2023.
Anwar dilaporkan ke MKMK karena dituding memiliki konflik kepentingan dalam memutus perkara tersebut, sebab ia masih berkerabat dengan Gibran. Anwar ialah adik ipar Jokowi. Artinya, ia paman Gibran.
Majelis Hakim MKMK berkeyakinan Anwar melanggar 5 dari 7 kode etik hakim konstitusi (Sapta Karsa Hutama). Itu sebabnya mereka memutus Anwar melakukan pelanggaran etik berat dan dicopot dari jabatan Ketua MK.
Selain itu, Anwar dilarang lagi turut memeriksa dan memutus perkara terkait perselisihan hasil pemilu (baik pemilihan presiden-wakil presiden, anggota DPR, DPD, DPR, maupun pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota) karena berpotensi menimbulkan benturan kepentingan.
Salah satu hakim MKMK, Bintan R. Saragih, memiliki pendapat berbeda terkait putusan MKMK yang “hanya” mencopot Anwar dari jabatan ketua (namun masih menjadi hakim MK). Menurut Bintan, karena terbukti melakukan pelanggaran berat, sanksinya mestinya pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sesuai Pasal 41 huruf c dan Pasal 47 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2023 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Namun Majelis Hakim berpendapat, jika sanksinya PTDH, hal itu membuka celah bagi Anwar untuk melakukan banding sebagaimana juga diatur dalam Peraturan MK. Ada pula persoalan administrasi karena mekanisme Majelis Kehormatan Banding belum diatur teknisnya dalam Peraturan MK terpisah.
“Kalau saya ditanya, apakah cukup alasan untuk memberhentikan [Anwar Usman] tidak dengan hormat? Menurut saya, cukup, sebagaimana pendapat Prof. Bintan. Tetapi kembali kepada kemanfaatan, keadilan, dan kepastian,” ujar mantan hakim MK I Dewa Palguna yang juga membahas putusan MKMK bersama enam mantan hakim konstitusi lainnya.


Tinggalkan Balasan