fyi.co.id Malang, — Sidang perdana praperadilan yang diajukan oleh kuasa hukum Drs. Sunardi (71) di Pengadilan Negeri Kota Malang, Selasa (28/10), berlangsung tidak seperti yang diharapkan.
Ketidakhadiran pihak kepolisian sebagai termohon dalam sidang dengan agenda pembacaan gugatan itu menuai sorotan dari tim kuasa hukum.
Sidang yang dipimpin Hakim Tunggal Muslih Harsono, S.H., M.H. seharusnya melanjutkan pemeriksaan berkas awal. Namun, proses tersebut tertunda karena pihak kepolisian tidak hadir memenuhi panggilan pengadilan.
“Sangat janggal jika pihak kepolisian sebagai penegak hukum justru tidak hadir memenuhi panggilan pengadilan. Seharusnya mereka memberi contoh ketaatan terhadap hukum,” ujar Wiwid Tuhu Prasetyanto, salah satu kuasa hukum Sunardi dari firma hukum Amojodipati Lawyer’s.
Ia menegaskan, praperadilan yang diajukan bukan untuk menyerang institusi, melainkan untuk memastikan profesionalitas aparat penegak hukum.
“Hukum bukan soal menang atau kalah, tetapi soal keadilan dan akuntabilitas. Kami mengajukan praperadilan justru untuk memastikan agar kinerja kepolisian tetap profesional. Namun jika mereka tidak mau diuji, publik berhak bertanya: apakah hukum kini dijalankan semaunya sendiri?” katanya menambahkan.
Ketidakhadiran termohon membuat hakim memutuskan menunda sidang selama dua minggu untuk memberi kesempatan pemanggilan ulang, terutama karena sebagian pihak kepolisian berdomisili di luar kota.
Sementara itu, tim hukum Sunardi menyampaikan kekhawatiran bahwa masa penahanan dalam tahap penyidikan bisa berakhir sebelum sidang praperadilan diputus. Bahkan, mereka khawatir berkas perkara sudah dinyatakan lengkap (P-21) oleh kejaksaan sebelum praperadilan rampung.
Untuk mencegah hal itu, tim hukum mengirim surat resmi kepada Kepala Kejaksaan Negeri Malang tertanggal 30 Oktober 2025.
Surat tersebut meminta agar Kejari tidak menetapkan P-21 atas laporan polisi No. LP/B/694/IX/2024/SPKT/POLRESTA dan No. SP.Sidik/270/VI/RES.1.11/2025/Satreskrim, sebelum seluruh proses hukum terkait selesai diperiksa.
Dalam surat itu juga dilampirkan dua perkara lain yang masih berjalan: gugatan perdata Nomor 158/Pdt.G/2025/PN.MLG dan permohonan praperadilan Nomor 6/Pid.Pra/2025/PN.MLG.
Kuasa hukum berpegang pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 1956 Pasal 1, yang memungkinkan penundaan perkara pidana apabila masih ada sengketa perdata atas objek yang sama.
“Dalam perkara ini, belum jelas siapa pemilik sah objek yang dipersoalkan. Sengketa keperdataan atas objek jual beli tanah masih diperiksa di PN Malang. Maka, sangat tepat bila proses pidana ditangguhkan dahulu,” jelas Andi Rachmanto, S.H., anggota tim kuasa hukum.
Sengketa bermula dari transaksi jual beli tanah antara almarhumah Hartini (istri Sunardi) dengan M.M.M., yang kemudian dibatalkan. Namun, pihak M.M.M. diduga menjual tanah tersebut ke pihak ketiga.
Sebagian uang dikembalikan, tetapi Sunardi menolak menandatangani transaksi baru karena dinilai tidak sah. Dari situ, Sunardi justru dilaporkan dengan tuduhan penipuan dan penggelapan.
Tim hukum menilai, penetapan Sunardi sebagai tersangka tidak sejalan dengan prinsip ultimum remedium, di mana hukum pidana seharusnya menjadi upaya terakhir setelah penyelesaian keperdataan gagal ditempuh.
Dalam suratnya kepada Kejari Malang, mereka menekankan tiga hal penting:
1. Belum diperiksanya penerima uang dari pihak pelapor;
2. Masih berlangsungnya perkara perdata terkait objek yang sama;
3. Masih adanya proses praperadilan yang wajib dihormati.
Tim hukum juga menegaskan, jika Kejari Malang tetap memaksakan menetapkan P-21 tanpa menunggu hasil dua proses hukum tersebut, mereka siap mengajukan praperadilan baru terhadap Kepala Kejari Malang, Kepala Kejati Jatim, hingga Jaksa Agung RI, serta melaporkan peristiwa ini ke Komisi Kejaksaan RI.
“Kami hanya meminta agar hukum ditegakkan secara adil dan prosedural. Prinsip due process of law harus dihormati. Jangan sampai kejar target menutup mata pada asas keadilan,” pungkas Wiwid Tuhu.


Tinggalkan Balasan